A. Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Abbasiyah, nama dinasti kekhalifahan yang berkuasa mulai 749 hingga 1258 (132 H-656 H) ini diambil dari nenek moyangnya al-Abbas bin ‘Abdul Mutalib bin Hasyim, paman Rasulullah.[3] Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abu al-‘Abbas al-Saffah dan sekaligus sebagai khalifah pertama. Al-Saffah artinya sang penumpah darah. Menurut Prof. Dr. Hamka, Abu al-Abbas al-Saffah dikenal sebagi orang yang masyhur karena kedermawanannya, kuat ingatannya, keras hati, tapi sangat besar dendamnya kepada Bani Umayyah. Sehingga dengan tidak mengenal belas kasihan dibunuhnya keturunan-keturunan Bani Umayyah itu.[4]
Munculnya Dinasti Abbasiyah sering dihubungkan dengan kejatuhan Dinasti Umayyah.[5] Dalam satu hal terdapat perbedaan yang sangat mendasar: Dinasti Umayyah terdiri atas orang Arab, sementara Dinasti Abbasiyah lebih bersifat internasional. Dinasti Abbasiyah merupakan kerajaan orang Islam baru, tempat orang Arab hanya menjadi salah satu unsur dari berbagai bangsa yang membentuk kerajaan itu.[6]
Oleh karena itu, penggantian Umayyah oleh Abbasiyah ini lebih dari sekedar penggantian dinasti, ia merupakan revolusi dalam sejarah Islam, suatu titik balik yang sama pentingnya dengan revolusi Prancis dan revolusi Rusia di dalam sejarah Barat.[7]
Ketika berhasil merebut kekuasaan, orang Abbasiyah mengklaim dirinya sebagai pengusung konsep sejati kekhalifahan, yaitu gagasan negara teokrasi, yang menggantikan pemerintahan sekuler (mulk) Dinasti Umayyah.[8]
Kekuasaan dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, yaitu selama lima abad. Selama dinasti ini berkuasa pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi lima periode:
1. Periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
2. Periode kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama.
3. Periode ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4. Periode keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
5. Periode kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif disekitar kota Bagdad.[9]
Pada mulanya Ibu kota negara adalah Al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Manshur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Bagdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesipon, tahun 762 M. Dengan demikian pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia.[10]
Dinasti Abbasiyah, seperti halnya dinasti lain dalam sejarah Islam, mencapai masa kejayaan politik dan intelektual mereka segera setelah didirikan. Kekhalifahan Bagdad yang didirikan oleh Al-Saffah dan al-Manshur mencapai masa keemasannya antara masa khalifah ketiga, al-Mahdi, dan khalifah kesembilan, al-Watsiq dan lebih khusus pada masa khalifah Harun al-Rasyid dan anaknya, al-Ma’mun.
B. Pemerintahan Dinasti Abbasiyah
Dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah kepala negara adalah khalifah, yang setidaknya dalam teori memegang semua kekuasaan. Ia dapat melimpahkan otoritas sipilnya kepada seorang wazir, otoritas pengadilan kepada seorang hakim (qadhi), dan otoritas militer kepada seorang jenderal (amir), namun khalifah tetap menjadi pengambil keputusan akhir dalam semua urusan pemerintahan pemerintahan. Dalam melaksanakan fungsi dan tugas pemerintahannya khalifah Bagdad mengikuti pola administrasi Persia. Penolakan masyarakat terhadap pemerintahan sekuler Umayyah dimanfaatkan Abbasiyah dengan menampilkan diri sebagai pemerintahan imamah, yang menekankan karakteristik dan kewibawaan religius.[11]
Pergantian kepemimpinan secara turun-temurun seperti yang dilakukan pada masa Umayyah juga diikuti oleh Dinasti Abbasiyah, beserta dampak buruknya. Khalifah yang sedang berkuasa akan menunjuk penggantinya seorang anak, atau saudaranya yang ia pandang cakap atau menurutnya paling tepat. Khalifah dibantu oleh pejabat rumah tangga istana (hajib) yang bertugas memperkenalkan utusan dan pejabat yang akan mengunjungi khalifah. Ada juga seorang eksekutor yang menjadi tokoh penting istana yang bertugas di bawah tanah istana, yakni tempat penyiksaan.[12]
Pendapatan negara pada masa Dinasti Abbasiyah bersumber dari pajak sebagai sumber utama, kemudian zakat yang dibebankan atas tanah produktif, hewan ternak, emas dan perak, barang dagangan, dan harta milik lainnya yang mampu berkembang baik secara alami maupun setelah diusahakan.[13]
Ada beberapa biro dalam pemerintahan Abbasiyah; biro pajak, biro pengawas, dewan korespondensi atau biro arsip yang menangani semua surat-surat resmi, dokumen politik serta instruksi dan ketetapan khalifah, dewan penyelidik keluhan atau semacam pengadilan tingkat banding/pengadilan tinggi, departemen kepolisian dan pos.[14]
Kekuatan militer Dinasti Abbasiyah terdiri atas pasukan infanteri (harbiyah) yang bersenjatakan tombak, pedang dan perisai, pasukan panah (ramiyah) dan pasukan kavaleri (fursan) yang mengenakan pelindung kepala dan dada serta bersenjatakan tombak panjang dan kapak.
C. Masa Kejayaan Peradaban Dinasti Abbasiyah
Peradaban dan kebudayaan Islam tumbuh dan berkembang bahkan mencapai kejayaannya pada masa Abbasiyah. Hal tersebut dikarenakan Dinasti Abbasiyah lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah.[15]
Abad X Masehi disebut abad pembangunan daulah islamiyah di mana Dunia Islam, mulai Cordova di Spanyol sampai ke Multan di Pakistan mengalami pembangunan di segala bidang, terutama di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Dunia Islam pada waktu itu dalam keadaan maju, jaya, makmur; sebaliknya dunia Barat masih dalam keadaan gelap gulita, bodoh dan primitif. Dunia Islam telah sibuk mengadakan penyelidikan di laboratorium dan observatorium; dunia barat masih asyik dengan jampi-jampi dan dewa-dewa. Hal ini disebabkan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad telah menimbulkan dorongan untuk menumbuhkan suatu kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam.[16]
1. Kehidupan Masyarakat Pada Masa Dinasti Abbasiyah
Sistem kesukuan primitif yang menjadi pola organisasi sosial Arab paling mendasar runtuh pada masa Dinasti Abbasiyah, yang didirikan dari berbagai unsur asing. Bahkan dalam persoalan memilih istri dan ibu untuk anak-anak mereka, para khalifah tidak menjadikan darah keturunan Arab sebagai patokan.[17]
Pada masa awal Dinasti Abbasiyah, kaum wanita cenderung menikmati tingkat kebebasan yang sama dengan kaum wanita pada masa Dinasti Umayyah. Pada masa itu banyak perempuan yang berhasil mengukir prestasi dan berpengaruh di pemerintahan.[18]
Pada masa ini, busana laki-laki memiliki corak yang beragam dengan model terbatas. Penutup kepala yang biasa dipakai adalah qalansuwah[19], celana panjang yang lebar (sarawil) dari Persia, kemeja, rompi dan jaket (qufthan), dengan jubah luar (‘aba’ atau jubbah), melengkapi lemari pakian laki-laki.[20]
Perabotan rumah yang paling umum adalah diwan[21]. Karpet buatan tangan dipakai untuk menutupi lantai. Makanan disajikan pada nampan lebar dari perunggu. Dirumah-rumah orang berada nampan-nampan itu terbuat dari perak. Nasi mereka anggap sebagai makan beracun dan menggantinya dengan menu-menu dari negeri berperadaban tinggi seperti daging rebus beraroma dan manisan. Mereka menggunakan roti tipis sebagai alat tulis. Ayam peliharaan mereka diberi makan berupa kenari, kacang almond dan susu. Pada musim panas rumah-rumah mereka didinginkan dengan es.[22]
Masyarakat kelas atas yang berada dibawah kelas aristokrat terdiri atas penulis sastra, orang terpelajar, seniman, pengusaha, pengrajin, dan pekerja profesional. Sementara masyarakat kelas bawah membentuk mayoritas penduduk negara yang terdiri atas petani, pengembala, dan penduduk sipil yang berstatus sebagai dzimmi.
Kekuasaan kerajaan yang luas dan tingkat peradaban yang tinggi dicapai dengan melibatkan jaringan perdagangan internasional yang luas. Para pedagang yang awalnya orang Kristen, Yahudi dan pengikut Zoroaster kemudian digantikan oleh orang-orang Arab Islam, sehingga pelabuhan-pelabuhan seperti Baghdad, Bashrah, Siraf, dan Iskandariyah segera berkembang menjadi pusat perdagangan laut dan darat yang aktif. Tingkat perdagangan seperti itu dicapai dengan dukungan pengembangan industri rumah tangga dan pertanian yang maju. Industri kerajinan tangan menjamur di berbagai pelosok kerajaan, seperti industri karpet, sutera, kapas, kain wol, satin dan brokat, sofa, serta perlengkapan dapur dan rumah tangga lainnya. Industri penting yang perlu dicatat adalah pembuatan kertas tulis, yang diperkenalkan pada pertengahan abad ke-8 dari Cina ke Samarkand. Seni mengolah perhiasan juga mengalami kejayaannya; mutiara, safir, rubi, emerald, permata, zamrud, dan onyx (semacam batu akik). Perhiasan itu banyak digunakan untuk aksesoris penghias kepala, sepatu dan lain-lain.[23]
2. Kebangkitan Intelektual
Gerakan membangun ilmu secara besar-besaran dirintis oleh khalifah Ja’far al-Manshur, setelah ia mendirikan kota Bagdad (144 H/762 M) dan menjadikannya sebagai ibukota negara.[24] Ia menarik banyak ulama dan para ahli dari berbagai daerah untuk datang dan tinggal di Bagdad. Ia merangsang usaha pembukuan ilmu agama, seperti fiqih, tafsir, tauhid, hadits, atau ilmu lain seperti bahasa dan ilmu sejarah. Akan tetapi yang lebih mendapat perhatian adalah penerjemahan buku ilmu yang dari luar.
Pada masa itu hidup para filsuf, pujangga, ahli baca al-Qur’an, dan para ulama di bidang agama. Didirikan perpustakaan yang diberi nama Baitul Hikmah, didalamnya orang dapat membaca, menulis, dan berdiskusi.[25] Berkembanglah ilmu pengetahuan agama seperti ilmu al-Qur’an, qira’at, hadits, fiqih, ilmu kalam, bahasa dan sastra. Empat madzhab fiqih tumbuh dan berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah. Imam Abu Hanifah (meninggal di Bagdad tahun 150 H/667 M) adalah pendiri Madzhab Hanafi. Imam Malik bin Anas banyak menulis hadits dan pendiri madzhab Maliki (wafat di Madinah tahun 179 H/795 M). Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (wafat di Mesir tahun 204 H/819 M) adalah pendiri Madzhab Syafi’i. Ahmad bin Hanbal pendiri madzhab Hanbali (wafat tahun 241 H/855 M). Di samping itu berkembang pula ilmu filsafat, logika, metafisika, matematika, ilmu alam, geografi, aljabar, aritmatika, astronomi, musik, kedokteran, dan kimia.[26]
Dinasti Abbasiyah dengan pusatnya di Bagdad sangat maju sebagai pusat kota peradaban dan pusat ilmu pengetahuan. Beberapa kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dapat disebutkan sebagai berikut:
a. Perkembangan Bidang Ilmu Naqli
Ilmu naqli adalah ilmu yang bersumber dari naqli (al-Qur’an dan Hadits), yaitu ilmu yang berhubungan dengan agama Islam. Ilmu ini mulai disusun perumusannya pada sekitar 200 tahun setelah hijrah Nabi sehingga menjadi ilmu yang kita kenal sekarang,[27] antara lain ulumul qur’an, ilmu tafsir, hadis, ilmu kalam, bahasa, dan fiqih.[28]
1) Ilmu Fiqh:
Pada masa Abbasiyah lahir para tokoh Fuqoha (ahli Fiqih) pendiri madzhab, antara lain:
a) Imam Abu Hanifah (700-767 M)
b) Imam Malik (713-795 M)
c) Imam Syafi’i (767-820 M)
d) Imam Ahmad bin Hanbal (780-855 M)
2) Ilmu Tafsir. Dari tafsir yang ada cera penafsirannya ada dua macam:
§ Tafsir bi al-ma’tsur, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan hadits Nabi. Mufassir masyhur golongan ini pada masa Abbasiyah antara lain
1) Ibn Jarir at-Thabary dengan tafsirnya sebanyak 30 juz
2) Ibn Athiyah al-Andalusy (Abu Muhammad bin Athiyah)
3) al-Suda yang mendasarkan penafsirannya pada Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, dan para sahabat lainnya.
§ tafsir bi al-ra’yi, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan akal dengan memperluas pemahaman yang terkandung didalamnya. Mufassir masyhur golongan ini pada masa Abbasiyah antara lain:
a) Abu Bakar Asma (mu’tazilah),
b) Abu Muslim Muhammad bin Nashr al-Isfahany (mu’tazilah) dengan kitab tafsirnya 14 jilid.
3) Ilmu Hadits.
Hadits adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Diantara para ahli hadits pada masa dinasti Abbasiyah adalah
a) Imam Bukhari (194-256 H), karyanya Shahih al-Bukhari
b) Imam Muslim (w. 261 H), karyanya Shahih Muslim
c) Ibnu Majah, Karyanya Sunan Ibnu Majah
d) Abu Dawud, Karyanya Sunan Abu Dawud
e) Imam an-Nasa’i, Karyanya Sunan An-Nasa’i
f) Imam Baihaqi
4) Ilmu Kalam
Kajian para ahli ilmu kalam (teologi) adalah mengenai dosa, pahala, surga neraka, serta perdebatan mengenai ketuhanan atau tauhid, menghasilkan suatu ilmu yaitu ilmu kalam atau teologi. Diantara tokoh ilmu kalam adalah
a) Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi, tokoh Asy’ariyah.
b) Washil bin Atha, Abu Huzail al-allaf, tokoh Mu’tazilah.
c) Al-Juba’i
5) Ilmu Bahasa
Ilmu-ilmu bahasa yang berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah adalah ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu bayan, ilmu badi’, dan arudl. Bahasa Arab dijadikan sebagai bahasa ilmu pengetahuan, disamping sebagai alat komunikasi antar bangsa.
Diantara para ahli ilmu bahasa adalah:
a) Imam Sibawaih (w. 183 H), karyanya terdiri dari 2 jilid setebal 1.000 halaman.
b) Al-Kisa’i
c) Abu Zakaria Al-Farra (w. 208 H). Kitab Nahwunya terdiri dari 6.000 halaman lebih.
b. Perkembangan Bidang Ilmu Aqli
Ilmu-ilmu umum masuk ke dalam Islam melalui terjemahan dari bahasa Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab, di samping bahasa India.[29] Pada tahun 856 M khalifah al-Mutawakkil mendirikan Sekolah Tinggi Terjemah di Bagdad yang dilengkapi dengan museum buku-buku.[30]
Gerakan penerjemahan berlangsung dalam tiga fase.
1. Fase pertama pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid, pada fase ini banyak diterjemahkan karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq.
2. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma’mun hingga tahun 300 H, buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran.
3. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Selanjutnya bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.[31]
Dengan kegiatan penerjemahan itu, sebagian karangan Aristoteles, Plato, Galen, serta karangan dalam ilmu kedokteran lainnya dan juga karangan mengenai ilmu pengetahuan Yunani lainnya dapat dibaca oleh alim ulama Islam.
Bertolak dari buku yang diterjemahkan itu para ahli dikalangan kaum muslimin mengembangkan penelitian dan pemikiran mereka, menguasai semua ilmu dan pemikiran filsafat yang pernah berkembang masa itu serta malakukan penelitian secara empiris dengan mengadakan eksperimen serta mengembangkan pemikiran spekulatif dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan kebenaran wahyu. Semenjak itu dimulailah pembentukan ilmu-ilmu Islam di bidang aqli, yang sering disebut Abad Keemasan yang berlangsung antara 900-1100 Masehi.[32]
Dalam bidang ilmu aqli antara lain berkembang berbagai kajian dalam bidang filsafat, logika, metafisika, ilmu alam, geometri, aljabar, aritmatika, astronomi, musik, kedokteran, kimia, sejarah dan sastra.
1) Filsafat
Kajian filsafat di kalangan umat Islam mencapai puncaknya pada masa Dinasti Abbasiyah, di antaranya dengan penerjemahan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Para Filsuf Islam antara lain:
a) Abu Ishaq Al-Kindi (809-873 M). Karyanya lebih dari 231 judul.
b) Abu Nashr Al-Farabi (961 M). Karyanya lebih dari 12 buah buku. Ia memperoleh gelar al-Mu’allimuts Tsani (the second teacher), yaitu guru kedua, sedang guru pertama dalam bidang filsafat adalah Aristoteles.
c) Ibnu Sina, terkenal dengan Avicenna (980-1037 M). Ia seorang filsuf yang menghidupkan kembali filsafat Yunani aliran Aristoteles dan Plato. Selain filsuf Avicenna juga seorang dokter istana kenamaan. Diantara bukunya yang terkenal adalah Asy-Syifa, dan Al-Qanun fi Ath-Thib (Canon of Medicine).
d) Al-Ghazali (1058-1111 M). Al-Ghazali mendapat julukan Al-Hujjatul Islam, karyanya antara lain: Maqasid al-Falasifah, Al-Munkid Minadh Dhalal, Tahafut Al- Falasifah, dan Ihya Ulumuddin.
e) Ibnu Rusyd di Barat terkenal denga Averros (1126-1198 M). Ia seorang filsuf, dokter dan ulama. Karyanya antara lain: Mabadi al-Falasifah, Al-Kuliah fi Ath-Thib, dan Bidayah al-Mujtahid.
2) Ilmu Kedokteran
Pada Masa Abbasiyah Ilmu kedokteran berkembang pesat, rumah sakit dan sekolah kedokteran banyak didirikan. Diantara ahli kedokteran ternama adalah
a) Abu Zakariya Yahya bin Mesuwaih (w. 242 H), seorang ahli farmasi di rumah sakit Jundishapur Iran.
b) Abu Bakar Ar-Razi (Rhazez) (864-932 M) dikenal sebagai “Ghalien Arab”.
c) Ibnu Sina (Avicenna), karyanya yang terkenal adalah Al-Qanun fi Ath-Thibtentang teori dan praktik ilmu kedokteran serta membahas pengaruh obat-obatan, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa, Canon of Medicine.
d) Ar-Razi, adalah tokok pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles, Ar-Razi adalah penulis buku tentang kedokteran anak.
3) Matematika
Terjemahan dari buku-buku asing ke dalam bahasa Arab, menghasilkan karya dalam bidang matematika. Di antara ahli matematika Islam yang terkenal adalah Al-Khawarizmi, ia adalah pengarang kitab Al-Jabar wal Muqabalah (ilmu hitung), dan penemu angka nol.
Sedangkan angka latin: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 0 disebut angka Arab karena diambil dari Arab. Sebelumnya dikenal angka Romawi I, II, II, IV, V dan seterusnya.
Tokoh lain adalah Abu Al-Wafa Muhammad bin Muhammad bin Ismail bin Al-Abbas (940-998) terkenal sebagai ahli ilmu matematika.
4) Farmasi
Diantara ahli farmasi pada masa dinasti Abbasiyah adalah Ibnu Baithar, karyanya yang terkenal adalah Al-Mughni (berisi tentang obat-obatan), Jami Al-Mufradat Al-Adawiyah (berisi tentang obat-obatan dan makanan bergizi).
5) Ilmu Astronomi
Kaum muslimin mengkaji dan menganalisis berbagai aliran ilmu astronomi dari berbagai bangsa seperti Yunani, India, Persia, Kaldan, dan ilmu Falak Jahiliyah. Diantara ahli astronomi Islam adalah:
a) Abu Manshur Al-Falaki (w. 272 H). Karyanya yang terkenal adalah Isbat Al-Ulum dan Hayat Al-Falak.
b) Jabir Al-Batani (w. 319 H). Ia adalah pencipta teropong bintang pertama. Karyanya yang terkenal adalah kitab Ma’rifat Mathiil Buruj Baina Arbai Al-Falak.
c) Raihan Al-Bairuni (w. 440 H). Karyanya adalah At-Tafhim li Awal As-Sina At-Tanjim.
6) Geografi
Dalam bidang geografi umat Islam sangat maju, karena sejak semula bangsa Arab merupakan bangsa pedagang yang biasa menempuh jarak jauh untuk berniaga. Di antara wilayah pengembaraan umat adalah umat Islam mengembara ke Cina dan Indonesia pada masa-masa awal kemunculan Islam. Di antara tokoh ahli geografi yang terkenal adalah
a) Abul Hasan Al-Mas’udi (w. 345 H/956 M), seorang penjelajah yang mengadakan perjalanan sampai Persia, India, Srilanka, Cina, dan penulis bukuMuruj Az-Zahab wa Ma’adin Al-Jawahir.
b) Ibnu Khurdazabah (820-913 M) berasal dari Persia yang dianggap sebagai ahli geografi Islam tertua.di antara karyanya adalah Masalik wa Al-Mamalik, tentang data-data penting mengenai sistem pemerintahan dan peraturan keuangan.
c) Ahmad El-Ya’kubi, penjelajah yang pernah mengadakan perjalanan sampai ke Armenia, Iran, India, Mesir, Maghribi, dan menulis buku Al-Buldan.
d) Abu Muhammad Al-Hasan Al-Hamdani (w. 334 H/946 M), karyanya berjudulSifatu Jazirah Al-Arab.
7) Sejarah
Masa dinasti Abbasiyah banyak muncul tokoh-tokoh sejarah, beberapa tokoh sejarah antara lain:
Ahmad bin Ya’kubi (w. 895 M) karyanya adalah Al-Buldan (negeri-negeri) dan At-Tarikh (sejarah).
8) Sastra
Dalam bidang sastra, Bagdad merupakan kota pusat seniman dan sastrawan. Para tokoh sastra antara lain:
a) Abu Nuwas, salah seorang penyair terkenal dengan karya cerita humornya.
b) An-Nasyasi, penulis buku Alfu Lailah wa Lailah (the Arabian Night), adalah buku cerita Seribu Satu Malam yang sangat terkenal dan diterjemahkan ke dalam hampir seluruh bahasa dunia.
D. Sebab-Sebab Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Sebagaimana terlihat dalam periodeisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khilafah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa para khilafah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khilafah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Menurut W. Montgomery Watt, bahwa beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran pada masa daulah Abbasiyah adalah sebagai berikut:
1. Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyah, sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintah sangat rendah.
2. Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
3. Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Bagdad.[33]
Sedangkan menurut Dr. Badri Yatim, M.A., di antara hal yang menyebabkan kemunduran daulah Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut:
1. Persaingan Antar Bangsa
Khilafah Abbasiyah yang didirikan Bani Abbas bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatarbelakangi persamaan nasib semasa kekuasaan Bani Umayyah. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah abbasiyah berdiri, persekutuan tetap dipertahankan. Pada masa ini persaingan antar bangsa memicu untuk saling berkuasa. Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri.
2. Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah mengalami kemunduran ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Abbasiyah merupakan pemerintahan yang kaya. Dan yang masuk lebih besar daripada pengeluaran, sehingga baitul mal penuh dengan harta. Setelah khilafah mengalami periode kemunduran, negara mengalami defisit anggaran, dengan demikian terjadi kemerosotan ekonomi.
3. Konflik Keagamaan
Konflik keagamaan yang muncul menjadi isu sentra pada masa khilafah Abbasiyah, sehingga mangakibatkan perpecahan. Berbagai aliran keagamaan seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Ahlussunnah, dan kelompok-kelompok lainnya menjadikan pemerintahan Abbasiyah mengalami kesulitan untuk mempersatukan berbagai faham keagamaan yang ada.
4. Ancaman dari luar
Selain yang disebutkan daiatas, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan kemunduran dinasti Abasiyah lemah dan hancur.
Pertama, Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang menelan banyak korban. Konsentrasi dan perhatian pemerintah Abbasiyah terpecah belah untuk menghadapi tentara salibsehingga memunculkan kelemahan-kelemahan.
Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam menyebabkan kekuatan Islam menjadi lemah, apalagi serangan Hulagu Khan dengan pasukan Mongol yang biadab menyebabkan kekuatan Abbasiyah menjadi lemah dan akhirnya menyerah kepada kekuatan Mongol.[34]
Read More
Abbasiyah, nama dinasti kekhalifahan yang berkuasa mulai 749 hingga 1258 (132 H-656 H) ini diambil dari nenek moyangnya al-Abbas bin ‘Abdul Mutalib bin Hasyim, paman Rasulullah.[3] Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abu al-‘Abbas al-Saffah dan sekaligus sebagai khalifah pertama. Al-Saffah artinya sang penumpah darah. Menurut Prof. Dr. Hamka, Abu al-Abbas al-Saffah dikenal sebagi orang yang masyhur karena kedermawanannya, kuat ingatannya, keras hati, tapi sangat besar dendamnya kepada Bani Umayyah. Sehingga dengan tidak mengenal belas kasihan dibunuhnya keturunan-keturunan Bani Umayyah itu.[4]
Munculnya Dinasti Abbasiyah sering dihubungkan dengan kejatuhan Dinasti Umayyah.[5] Dalam satu hal terdapat perbedaan yang sangat mendasar: Dinasti Umayyah terdiri atas orang Arab, sementara Dinasti Abbasiyah lebih bersifat internasional. Dinasti Abbasiyah merupakan kerajaan orang Islam baru, tempat orang Arab hanya menjadi salah satu unsur dari berbagai bangsa yang membentuk kerajaan itu.[6]
Oleh karena itu, penggantian Umayyah oleh Abbasiyah ini lebih dari sekedar penggantian dinasti, ia merupakan revolusi dalam sejarah Islam, suatu titik balik yang sama pentingnya dengan revolusi Prancis dan revolusi Rusia di dalam sejarah Barat.[7]
Ketika berhasil merebut kekuasaan, orang Abbasiyah mengklaim dirinya sebagai pengusung konsep sejati kekhalifahan, yaitu gagasan negara teokrasi, yang menggantikan pemerintahan sekuler (mulk) Dinasti Umayyah.[8]
Kekuasaan dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, yaitu selama lima abad. Selama dinasti ini berkuasa pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi lima periode:
1. Periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
2. Periode kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama.
3. Periode ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4. Periode keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
5. Periode kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif disekitar kota Bagdad.[9]
Pada mulanya Ibu kota negara adalah Al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Manshur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Bagdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesipon, tahun 762 M. Dengan demikian pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia.[10]
Dinasti Abbasiyah, seperti halnya dinasti lain dalam sejarah Islam, mencapai masa kejayaan politik dan intelektual mereka segera setelah didirikan. Kekhalifahan Bagdad yang didirikan oleh Al-Saffah dan al-Manshur mencapai masa keemasannya antara masa khalifah ketiga, al-Mahdi, dan khalifah kesembilan, al-Watsiq dan lebih khusus pada masa khalifah Harun al-Rasyid dan anaknya, al-Ma’mun.
B. Pemerintahan Dinasti Abbasiyah
Dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah kepala negara adalah khalifah, yang setidaknya dalam teori memegang semua kekuasaan. Ia dapat melimpahkan otoritas sipilnya kepada seorang wazir, otoritas pengadilan kepada seorang hakim (qadhi), dan otoritas militer kepada seorang jenderal (amir), namun khalifah tetap menjadi pengambil keputusan akhir dalam semua urusan pemerintahan pemerintahan. Dalam melaksanakan fungsi dan tugas pemerintahannya khalifah Bagdad mengikuti pola administrasi Persia. Penolakan masyarakat terhadap pemerintahan sekuler Umayyah dimanfaatkan Abbasiyah dengan menampilkan diri sebagai pemerintahan imamah, yang menekankan karakteristik dan kewibawaan religius.[11]
Pergantian kepemimpinan secara turun-temurun seperti yang dilakukan pada masa Umayyah juga diikuti oleh Dinasti Abbasiyah, beserta dampak buruknya. Khalifah yang sedang berkuasa akan menunjuk penggantinya seorang anak, atau saudaranya yang ia pandang cakap atau menurutnya paling tepat. Khalifah dibantu oleh pejabat rumah tangga istana (hajib) yang bertugas memperkenalkan utusan dan pejabat yang akan mengunjungi khalifah. Ada juga seorang eksekutor yang menjadi tokoh penting istana yang bertugas di bawah tanah istana, yakni tempat penyiksaan.[12]
Pendapatan negara pada masa Dinasti Abbasiyah bersumber dari pajak sebagai sumber utama, kemudian zakat yang dibebankan atas tanah produktif, hewan ternak, emas dan perak, barang dagangan, dan harta milik lainnya yang mampu berkembang baik secara alami maupun setelah diusahakan.[13]
Ada beberapa biro dalam pemerintahan Abbasiyah; biro pajak, biro pengawas, dewan korespondensi atau biro arsip yang menangani semua surat-surat resmi, dokumen politik serta instruksi dan ketetapan khalifah, dewan penyelidik keluhan atau semacam pengadilan tingkat banding/pengadilan tinggi, departemen kepolisian dan pos.[14]
Kekuatan militer Dinasti Abbasiyah terdiri atas pasukan infanteri (harbiyah) yang bersenjatakan tombak, pedang dan perisai, pasukan panah (ramiyah) dan pasukan kavaleri (fursan) yang mengenakan pelindung kepala dan dada serta bersenjatakan tombak panjang dan kapak.
C. Masa Kejayaan Peradaban Dinasti Abbasiyah
Peradaban dan kebudayaan Islam tumbuh dan berkembang bahkan mencapai kejayaannya pada masa Abbasiyah. Hal tersebut dikarenakan Dinasti Abbasiyah lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah.[15]
Abad X Masehi disebut abad pembangunan daulah islamiyah di mana Dunia Islam, mulai Cordova di Spanyol sampai ke Multan di Pakistan mengalami pembangunan di segala bidang, terutama di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Dunia Islam pada waktu itu dalam keadaan maju, jaya, makmur; sebaliknya dunia Barat masih dalam keadaan gelap gulita, bodoh dan primitif. Dunia Islam telah sibuk mengadakan penyelidikan di laboratorium dan observatorium; dunia barat masih asyik dengan jampi-jampi dan dewa-dewa. Hal ini disebabkan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad telah menimbulkan dorongan untuk menumbuhkan suatu kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam.[16]
1. Kehidupan Masyarakat Pada Masa Dinasti Abbasiyah
Sistem kesukuan primitif yang menjadi pola organisasi sosial Arab paling mendasar runtuh pada masa Dinasti Abbasiyah, yang didirikan dari berbagai unsur asing. Bahkan dalam persoalan memilih istri dan ibu untuk anak-anak mereka, para khalifah tidak menjadikan darah keturunan Arab sebagai patokan.[17]
Pada masa awal Dinasti Abbasiyah, kaum wanita cenderung menikmati tingkat kebebasan yang sama dengan kaum wanita pada masa Dinasti Umayyah. Pada masa itu banyak perempuan yang berhasil mengukir prestasi dan berpengaruh di pemerintahan.[18]
Pada masa ini, busana laki-laki memiliki corak yang beragam dengan model terbatas. Penutup kepala yang biasa dipakai adalah qalansuwah[19], celana panjang yang lebar (sarawil) dari Persia, kemeja, rompi dan jaket (qufthan), dengan jubah luar (‘aba’ atau jubbah), melengkapi lemari pakian laki-laki.[20]
Perabotan rumah yang paling umum adalah diwan[21]. Karpet buatan tangan dipakai untuk menutupi lantai. Makanan disajikan pada nampan lebar dari perunggu. Dirumah-rumah orang berada nampan-nampan itu terbuat dari perak. Nasi mereka anggap sebagai makan beracun dan menggantinya dengan menu-menu dari negeri berperadaban tinggi seperti daging rebus beraroma dan manisan. Mereka menggunakan roti tipis sebagai alat tulis. Ayam peliharaan mereka diberi makan berupa kenari, kacang almond dan susu. Pada musim panas rumah-rumah mereka didinginkan dengan es.[22]
Masyarakat kelas atas yang berada dibawah kelas aristokrat terdiri atas penulis sastra, orang terpelajar, seniman, pengusaha, pengrajin, dan pekerja profesional. Sementara masyarakat kelas bawah membentuk mayoritas penduduk negara yang terdiri atas petani, pengembala, dan penduduk sipil yang berstatus sebagai dzimmi.
Kekuasaan kerajaan yang luas dan tingkat peradaban yang tinggi dicapai dengan melibatkan jaringan perdagangan internasional yang luas. Para pedagang yang awalnya orang Kristen, Yahudi dan pengikut Zoroaster kemudian digantikan oleh orang-orang Arab Islam, sehingga pelabuhan-pelabuhan seperti Baghdad, Bashrah, Siraf, dan Iskandariyah segera berkembang menjadi pusat perdagangan laut dan darat yang aktif. Tingkat perdagangan seperti itu dicapai dengan dukungan pengembangan industri rumah tangga dan pertanian yang maju. Industri kerajinan tangan menjamur di berbagai pelosok kerajaan, seperti industri karpet, sutera, kapas, kain wol, satin dan brokat, sofa, serta perlengkapan dapur dan rumah tangga lainnya. Industri penting yang perlu dicatat adalah pembuatan kertas tulis, yang diperkenalkan pada pertengahan abad ke-8 dari Cina ke Samarkand. Seni mengolah perhiasan juga mengalami kejayaannya; mutiara, safir, rubi, emerald, permata, zamrud, dan onyx (semacam batu akik). Perhiasan itu banyak digunakan untuk aksesoris penghias kepala, sepatu dan lain-lain.[23]
2. Kebangkitan Intelektual
Gerakan membangun ilmu secara besar-besaran dirintis oleh khalifah Ja’far al-Manshur, setelah ia mendirikan kota Bagdad (144 H/762 M) dan menjadikannya sebagai ibukota negara.[24] Ia menarik banyak ulama dan para ahli dari berbagai daerah untuk datang dan tinggal di Bagdad. Ia merangsang usaha pembukuan ilmu agama, seperti fiqih, tafsir, tauhid, hadits, atau ilmu lain seperti bahasa dan ilmu sejarah. Akan tetapi yang lebih mendapat perhatian adalah penerjemahan buku ilmu yang dari luar.
Pada masa itu hidup para filsuf, pujangga, ahli baca al-Qur’an, dan para ulama di bidang agama. Didirikan perpustakaan yang diberi nama Baitul Hikmah, didalamnya orang dapat membaca, menulis, dan berdiskusi.[25] Berkembanglah ilmu pengetahuan agama seperti ilmu al-Qur’an, qira’at, hadits, fiqih, ilmu kalam, bahasa dan sastra. Empat madzhab fiqih tumbuh dan berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah. Imam Abu Hanifah (meninggal di Bagdad tahun 150 H/667 M) adalah pendiri Madzhab Hanafi. Imam Malik bin Anas banyak menulis hadits dan pendiri madzhab Maliki (wafat di Madinah tahun 179 H/795 M). Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (wafat di Mesir tahun 204 H/819 M) adalah pendiri Madzhab Syafi’i. Ahmad bin Hanbal pendiri madzhab Hanbali (wafat tahun 241 H/855 M). Di samping itu berkembang pula ilmu filsafat, logika, metafisika, matematika, ilmu alam, geografi, aljabar, aritmatika, astronomi, musik, kedokteran, dan kimia.[26]
Dinasti Abbasiyah dengan pusatnya di Bagdad sangat maju sebagai pusat kota peradaban dan pusat ilmu pengetahuan. Beberapa kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dapat disebutkan sebagai berikut:
a. Perkembangan Bidang Ilmu Naqli
Ilmu naqli adalah ilmu yang bersumber dari naqli (al-Qur’an dan Hadits), yaitu ilmu yang berhubungan dengan agama Islam. Ilmu ini mulai disusun perumusannya pada sekitar 200 tahun setelah hijrah Nabi sehingga menjadi ilmu yang kita kenal sekarang,[27] antara lain ulumul qur’an, ilmu tafsir, hadis, ilmu kalam, bahasa, dan fiqih.[28]
1) Ilmu Fiqh:
Pada masa Abbasiyah lahir para tokoh Fuqoha (ahli Fiqih) pendiri madzhab, antara lain:
a) Imam Abu Hanifah (700-767 M)
b) Imam Malik (713-795 M)
c) Imam Syafi’i (767-820 M)
d) Imam Ahmad bin Hanbal (780-855 M)
2) Ilmu Tafsir. Dari tafsir yang ada cera penafsirannya ada dua macam:
§ Tafsir bi al-ma’tsur, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan hadits Nabi. Mufassir masyhur golongan ini pada masa Abbasiyah antara lain
1) Ibn Jarir at-Thabary dengan tafsirnya sebanyak 30 juz
2) Ibn Athiyah al-Andalusy (Abu Muhammad bin Athiyah)
3) al-Suda yang mendasarkan penafsirannya pada Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, dan para sahabat lainnya.
§ tafsir bi al-ra’yi, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan akal dengan memperluas pemahaman yang terkandung didalamnya. Mufassir masyhur golongan ini pada masa Abbasiyah antara lain:
a) Abu Bakar Asma (mu’tazilah),
b) Abu Muslim Muhammad bin Nashr al-Isfahany (mu’tazilah) dengan kitab tafsirnya 14 jilid.
3) Ilmu Hadits.
Hadits adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Diantara para ahli hadits pada masa dinasti Abbasiyah adalah
a) Imam Bukhari (194-256 H), karyanya Shahih al-Bukhari
b) Imam Muslim (w. 261 H), karyanya Shahih Muslim
c) Ibnu Majah, Karyanya Sunan Ibnu Majah
d) Abu Dawud, Karyanya Sunan Abu Dawud
e) Imam an-Nasa’i, Karyanya Sunan An-Nasa’i
f) Imam Baihaqi
4) Ilmu Kalam
Kajian para ahli ilmu kalam (teologi) adalah mengenai dosa, pahala, surga neraka, serta perdebatan mengenai ketuhanan atau tauhid, menghasilkan suatu ilmu yaitu ilmu kalam atau teologi. Diantara tokoh ilmu kalam adalah
a) Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi, tokoh Asy’ariyah.
b) Washil bin Atha, Abu Huzail al-allaf, tokoh Mu’tazilah.
c) Al-Juba’i
5) Ilmu Bahasa
Ilmu-ilmu bahasa yang berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah adalah ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu bayan, ilmu badi’, dan arudl. Bahasa Arab dijadikan sebagai bahasa ilmu pengetahuan, disamping sebagai alat komunikasi antar bangsa.
Diantara para ahli ilmu bahasa adalah:
a) Imam Sibawaih (w. 183 H), karyanya terdiri dari 2 jilid setebal 1.000 halaman.
b) Al-Kisa’i
c) Abu Zakaria Al-Farra (w. 208 H). Kitab Nahwunya terdiri dari 6.000 halaman lebih.
b. Perkembangan Bidang Ilmu Aqli
Ilmu-ilmu umum masuk ke dalam Islam melalui terjemahan dari bahasa Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab, di samping bahasa India.[29] Pada tahun 856 M khalifah al-Mutawakkil mendirikan Sekolah Tinggi Terjemah di Bagdad yang dilengkapi dengan museum buku-buku.[30]
Gerakan penerjemahan berlangsung dalam tiga fase.
1. Fase pertama pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid, pada fase ini banyak diterjemahkan karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq.
2. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma’mun hingga tahun 300 H, buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran.
3. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Selanjutnya bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.[31]
Dengan kegiatan penerjemahan itu, sebagian karangan Aristoteles, Plato, Galen, serta karangan dalam ilmu kedokteran lainnya dan juga karangan mengenai ilmu pengetahuan Yunani lainnya dapat dibaca oleh alim ulama Islam.
Bertolak dari buku yang diterjemahkan itu para ahli dikalangan kaum muslimin mengembangkan penelitian dan pemikiran mereka, menguasai semua ilmu dan pemikiran filsafat yang pernah berkembang masa itu serta malakukan penelitian secara empiris dengan mengadakan eksperimen serta mengembangkan pemikiran spekulatif dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan kebenaran wahyu. Semenjak itu dimulailah pembentukan ilmu-ilmu Islam di bidang aqli, yang sering disebut Abad Keemasan yang berlangsung antara 900-1100 Masehi.[32]
Dalam bidang ilmu aqli antara lain berkembang berbagai kajian dalam bidang filsafat, logika, metafisika, ilmu alam, geometri, aljabar, aritmatika, astronomi, musik, kedokteran, kimia, sejarah dan sastra.
1) Filsafat
Kajian filsafat di kalangan umat Islam mencapai puncaknya pada masa Dinasti Abbasiyah, di antaranya dengan penerjemahan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Para Filsuf Islam antara lain:
a) Abu Ishaq Al-Kindi (809-873 M). Karyanya lebih dari 231 judul.
b) Abu Nashr Al-Farabi (961 M). Karyanya lebih dari 12 buah buku. Ia memperoleh gelar al-Mu’allimuts Tsani (the second teacher), yaitu guru kedua, sedang guru pertama dalam bidang filsafat adalah Aristoteles.
c) Ibnu Sina, terkenal dengan Avicenna (980-1037 M). Ia seorang filsuf yang menghidupkan kembali filsafat Yunani aliran Aristoteles dan Plato. Selain filsuf Avicenna juga seorang dokter istana kenamaan. Diantara bukunya yang terkenal adalah Asy-Syifa, dan Al-Qanun fi Ath-Thib (Canon of Medicine).
d) Al-Ghazali (1058-1111 M). Al-Ghazali mendapat julukan Al-Hujjatul Islam, karyanya antara lain: Maqasid al-Falasifah, Al-Munkid Minadh Dhalal, Tahafut Al- Falasifah, dan Ihya Ulumuddin.
e) Ibnu Rusyd di Barat terkenal denga Averros (1126-1198 M). Ia seorang filsuf, dokter dan ulama. Karyanya antara lain: Mabadi al-Falasifah, Al-Kuliah fi Ath-Thib, dan Bidayah al-Mujtahid.
2) Ilmu Kedokteran
Pada Masa Abbasiyah Ilmu kedokteran berkembang pesat, rumah sakit dan sekolah kedokteran banyak didirikan. Diantara ahli kedokteran ternama adalah
a) Abu Zakariya Yahya bin Mesuwaih (w. 242 H), seorang ahli farmasi di rumah sakit Jundishapur Iran.
b) Abu Bakar Ar-Razi (Rhazez) (864-932 M) dikenal sebagai “Ghalien Arab”.
c) Ibnu Sina (Avicenna), karyanya yang terkenal adalah Al-Qanun fi Ath-Thibtentang teori dan praktik ilmu kedokteran serta membahas pengaruh obat-obatan, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa, Canon of Medicine.
d) Ar-Razi, adalah tokok pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles, Ar-Razi adalah penulis buku tentang kedokteran anak.
3) Matematika
Terjemahan dari buku-buku asing ke dalam bahasa Arab, menghasilkan karya dalam bidang matematika. Di antara ahli matematika Islam yang terkenal adalah Al-Khawarizmi, ia adalah pengarang kitab Al-Jabar wal Muqabalah (ilmu hitung), dan penemu angka nol.
Sedangkan angka latin: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 0 disebut angka Arab karena diambil dari Arab. Sebelumnya dikenal angka Romawi I, II, II, IV, V dan seterusnya.
Tokoh lain adalah Abu Al-Wafa Muhammad bin Muhammad bin Ismail bin Al-Abbas (940-998) terkenal sebagai ahli ilmu matematika.
4) Farmasi
Diantara ahli farmasi pada masa dinasti Abbasiyah adalah Ibnu Baithar, karyanya yang terkenal adalah Al-Mughni (berisi tentang obat-obatan), Jami Al-Mufradat Al-Adawiyah (berisi tentang obat-obatan dan makanan bergizi).
5) Ilmu Astronomi
Kaum muslimin mengkaji dan menganalisis berbagai aliran ilmu astronomi dari berbagai bangsa seperti Yunani, India, Persia, Kaldan, dan ilmu Falak Jahiliyah. Diantara ahli astronomi Islam adalah:
a) Abu Manshur Al-Falaki (w. 272 H). Karyanya yang terkenal adalah Isbat Al-Ulum dan Hayat Al-Falak.
b) Jabir Al-Batani (w. 319 H). Ia adalah pencipta teropong bintang pertama. Karyanya yang terkenal adalah kitab Ma’rifat Mathiil Buruj Baina Arbai Al-Falak.
c) Raihan Al-Bairuni (w. 440 H). Karyanya adalah At-Tafhim li Awal As-Sina At-Tanjim.
6) Geografi
Dalam bidang geografi umat Islam sangat maju, karena sejak semula bangsa Arab merupakan bangsa pedagang yang biasa menempuh jarak jauh untuk berniaga. Di antara wilayah pengembaraan umat adalah umat Islam mengembara ke Cina dan Indonesia pada masa-masa awal kemunculan Islam. Di antara tokoh ahli geografi yang terkenal adalah
a) Abul Hasan Al-Mas’udi (w. 345 H/956 M), seorang penjelajah yang mengadakan perjalanan sampai Persia, India, Srilanka, Cina, dan penulis bukuMuruj Az-Zahab wa Ma’adin Al-Jawahir.
b) Ibnu Khurdazabah (820-913 M) berasal dari Persia yang dianggap sebagai ahli geografi Islam tertua.di antara karyanya adalah Masalik wa Al-Mamalik, tentang data-data penting mengenai sistem pemerintahan dan peraturan keuangan.
c) Ahmad El-Ya’kubi, penjelajah yang pernah mengadakan perjalanan sampai ke Armenia, Iran, India, Mesir, Maghribi, dan menulis buku Al-Buldan.
d) Abu Muhammad Al-Hasan Al-Hamdani (w. 334 H/946 M), karyanya berjudulSifatu Jazirah Al-Arab.
7) Sejarah
Masa dinasti Abbasiyah banyak muncul tokoh-tokoh sejarah, beberapa tokoh sejarah antara lain:
Ahmad bin Ya’kubi (w. 895 M) karyanya adalah Al-Buldan (negeri-negeri) dan At-Tarikh (sejarah).
8) Sastra
Dalam bidang sastra, Bagdad merupakan kota pusat seniman dan sastrawan. Para tokoh sastra antara lain:
a) Abu Nuwas, salah seorang penyair terkenal dengan karya cerita humornya.
b) An-Nasyasi, penulis buku Alfu Lailah wa Lailah (the Arabian Night), adalah buku cerita Seribu Satu Malam yang sangat terkenal dan diterjemahkan ke dalam hampir seluruh bahasa dunia.
D. Sebab-Sebab Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Sebagaimana terlihat dalam periodeisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khilafah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa para khilafah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khilafah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Menurut W. Montgomery Watt, bahwa beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran pada masa daulah Abbasiyah adalah sebagai berikut:
1. Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyah, sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintah sangat rendah.
2. Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
3. Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Bagdad.[33]
Sedangkan menurut Dr. Badri Yatim, M.A., di antara hal yang menyebabkan kemunduran daulah Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut:
1. Persaingan Antar Bangsa
Khilafah Abbasiyah yang didirikan Bani Abbas bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatarbelakangi persamaan nasib semasa kekuasaan Bani Umayyah. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah abbasiyah berdiri, persekutuan tetap dipertahankan. Pada masa ini persaingan antar bangsa memicu untuk saling berkuasa. Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri.
2. Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah mengalami kemunduran ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Abbasiyah merupakan pemerintahan yang kaya. Dan yang masuk lebih besar daripada pengeluaran, sehingga baitul mal penuh dengan harta. Setelah khilafah mengalami periode kemunduran, negara mengalami defisit anggaran, dengan demikian terjadi kemerosotan ekonomi.
3. Konflik Keagamaan
Konflik keagamaan yang muncul menjadi isu sentra pada masa khilafah Abbasiyah, sehingga mangakibatkan perpecahan. Berbagai aliran keagamaan seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Ahlussunnah, dan kelompok-kelompok lainnya menjadikan pemerintahan Abbasiyah mengalami kesulitan untuk mempersatukan berbagai faham keagamaan yang ada.
4. Ancaman dari luar
Selain yang disebutkan daiatas, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan kemunduran dinasti Abasiyah lemah dan hancur.
Pertama, Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang menelan banyak korban. Konsentrasi dan perhatian pemerintah Abbasiyah terpecah belah untuk menghadapi tentara salibsehingga memunculkan kelemahan-kelemahan.
Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam menyebabkan kekuatan Islam menjadi lemah, apalagi serangan Hulagu Khan dengan pasukan Mongol yang biadab menyebabkan kekuatan Abbasiyah menjadi lemah dan akhirnya menyerah kepada kekuatan Mongol.[34]